masantonku

BAGI YANG INGIN BERIKLAN DI www.masantonku.co.cc & www.masantonku.cqn.in SILAHKAN KLIK "KONTAK" ATAU "CONTACT ME"

www.masantonku.co.cc

<a href="http://www.masantonku.co.cc"><img src="http://i974.photobucket.com/albums/ae225/masantonku/banner260X100.gif" alt="www.masantonku.co.cc" width="260" height="100" border="0"></a>

www.masantonku.co.cc

ROYAN, KEKASIHKU

January 29, 2010


Arleti terbangun dengan muka pucat. Untuk kesekian kali, ia menemukan sepucuk surat di bawah bantalnya. Surat dengan bentuk tulisan yang serupa, sejak setahun lalu. Latin tegak dengan huruf 'k' dan 'd' yang bagus. Mirip tulisannya sendiri.
Kepada yang tercinta: Arleti.
Demikian tertera di sampul. Di bawahnya dituliskan alamat yang memungkinkan surat itu tiba di rumah ini. Memang tak ada kata 'di bawah bantal', namun surat dari Royan sampai ke tangannya selalu melalui bawah bantal.
Kali ini Arleti tidak langsung membukanya. Ia mencoba mengingat berita terakhir yang ia sampaikan kepada Royan. Pasti ada sesuatu yang membuat Royan berminat membalasnya lebih cepat.
Arleti lupa, tetapi ia masih bertahan untuk tidak segera membuka surat Royan. Kali ini ia memilih mandi lebih dulu, dan berniat minum teh manis.Di bawah siraman air shower, pikiran Arleti mengembara. Ia menuduh Royan sedang mempermainkannya. Lelaki itu tak pernah mau berkunjung lagi, meski berulang-kali Arleti memintanya melalui surat.
"Royan, Kekasihku. Bagaimanapun aku punya rasa rindu," demikian tulis Arleti pada salah satu suratnya. "Dapatkah kau meluangkan waktu untuk singgah ke rumah? Berapa jauhnya antara Yogya dan Jakarta? Hanya tujuh jam perjalanan dengan Argo Dwipangga. Bahkan hanya satu jam dengan Boeing 737. Demikian sibukkah, sampai hari Minggu pun kau habiskan untuk melatih teater?"
Surat Arleti yang penuh harapan itu seperti terlempar sia-sia ke tengah buih lautan. Surat balasan yang kemudian diterimanya nyaris tak sebanding dengan bara rindu di dadanya.
"Arleti di rumah, mungkin saat ini kau sedang menabur jagung untuk sepuluh merpati kesayanganmu. Sudahkah kau menonton film Onegin? Sebuah karya Alexander Pushkin yang demikian puitis. Aku menyaksikan hampir sembilan kali, seperti ketika aku ketagihan Last Tango in Paris. Entah kenapa. Lalu aku teringat kau. Ya. Kau harus menontonnya."
Sungguh Arleti tak mengerti. Mengapa suratnya dan surat Royan seperti short message service yang salah waktu? Ada selisih informasi. Arleti teringat salah satu cerita Isaac Asimov. Dikisahkan tentang seorang ibu yang menyuruh anaknya di stasiun antariksa, agar terus mengajukan pertanyaan ke pesawat yang terkatung-katung di langit. Itu lebih efektif, ketimbang diam menunggu jawaban. Jika suaranya sampai, seseorang yang diajak bicara jauh di luar angkasa akan berturut-turut pula mengirim jawaban.
Disambarnya handuk, untuk membelit tubuh. Ia melompat dari kamar mandi serupa tupai. Di rumah itu, sepagi ini, mungkin belum banyak yang terjaga. Subuh baru saja selesai. Terdengar desis air yang dimasak Bi Ijah di dapur. Selebihnya kicau burung, dan suara permulaan acara televisi dari ruang tengah. Mungkin ayah baru saja bangkit dari kamar dan mencari siaran televisi melalui remote control.
Setelah menyisir rambut, dan memandang wajahnya yang kuyu di depan cermin, Arleti seperti teringat sesuatu. Semalam ia tidur sangat sedikit. Rasanya ia telah menghabiskan waktu untuk menulis surat kepada Royan. Atau sesuatu yang lain? Dilepaskan handuk dari tubuhnya. Ia memandang pualam yang terbuat dari daging, memantul dari pengilon. Sepasang payudara yang kencang dan penuh, dengan warna biru samar di sekitar puting. Itulah pembuluh halus yang mungkin bekerja memancarkan air susu. Terkadang Arleti merasa jatuh cinta pada tubuhnya. Dibukanya lemari, mengambil celana dalam, t-shirt dan sepotong jins. Boleh jadi, semalam ia menulis buku harian.

***

"Arleti!" Suara ibunya memanggil. Pintu kamarnya terbuka oleh dorongan tangan. "Kamu kuliah hari ini?"
"Ya. Kenapa?"
"Antar Mama ke toko bunga Chaniago Flowers di Tebet."
"Ada yang ulang tahun, Ma?" tanya Arleti sambil lalu.
"Astaga!" Ibunya masuk ke dalam kamar. "Kamu lupa ulang tahun Adi?"
"Adi Tristianto? Kok Mama jadi repot?" Arleti duduk di ranjang dengan kesal.
Ada semacam bisnis antara orangtuanya dan salah satu rektor perguruan tinggi. Adi anak rektor itu, yang dipuja dan dikagumi di kampus karena pesona intelektualnya.
"Aku alergi pemuda itu! Terlalu kurus. Dan, ia hanya berminat pada komputer."
Ibunya ikut duduk di sebelahnya. Tersenyum sabar. "Setidaknya kau mulai memperhatikan dia. Mama bahkan tidak tahu kalau Adi jago komputer."
Arleti merasa semakin tak senang. Rongga kepalanya hanya berisi Royan, seseorang yang jauh. Lelaki yang rajin menyuratinya dan langsung mengirimkan ke bawah bantal. Lelaki yang dalam suratnya kerap menceritakan beberapa pertunjukan teater yang sulit dilupakan karena sangat berkesan. Misalnya tentang 'Lelaki yang Mencintai Hujan'. Ah, mana surat itu? Arleti berdiri dengan kasar.
"Kamu tidak pakai BH?" Ibunya mendelik. Namun, Arleti tidak memperhatikan. "Mama mandi dulu, ya. Awas, jangan ditinggal!"
Arleti tetap tidak menanggapi. Ia mencari surat Royan, lalu segera membacanya. Huruf-huruf di dalamnya bagai menari dan menyihirnya untuk terbang ke awang-awang.
"Kekasihku tercinta. Lama aku berpikir untuk datang ke Jakarta seperti harapanmu. Tetapi, selalu saja ada pekerjaan yang memburu. Sesuatu yang sulit kutinggalkan, bahkan untuk sehari-dua. Hampir setiap hari aku menerima tamu, yang datang tak tentu waktu. Pernah di suatu subuh, seorang kawan mengetuk pintu kamarku, meminta kepastianku mengisi acara di fakultasnya. Memang lagi-lagi teater. Sebuah dunia yang berisi blocking, cahaya, dan bahasa tubuh. Dunia yang kata-katanya bisa muncul dari mulut atau pun benda di sekitarnya. Dunia yang memiliki dimensi-dimensi waktu dalam satu proscenium, sepanjang kita mau menafsirkannya."
Arleti masih menyimak.
"Arleti, saat ini sedang kutulis sebuah naskah yang sangat memesona. Setidaknya bagiku. Kupilih judul Deja vu. Aku yakin kau tahu artinya. Sesuatu yang sama yang pernah terjadi. Kita terlibat di dalamnya, atau menyaksikannya. Ini tentang seorang lelaki yang kemudian bingung dengan suatu pilihan di akhir cerita. Maaf kalau aku membuatmu penasaran. Karena sesungguhnya, kau pun membuat aku penasaran. Mungkin itulah yang menyebabkan cintaku tak kunjung padam. Cinta yang tak menemui batas. Cinta yang mulai takut pada sebuah kenyataan. Arleti, apakah saat ini, atau tadi, kau sedang menabur jagung untuk sepuluh merpati kesayanganmu?"
Arleti menghela napas. Ia tak pernah sekali pun memberi tahu tentang merpati peliharaannya kepada lelaki yang tidak menyukai telepon itu. Tetapi Royan nyaris seperti Harry Potter dengan kepandaian yang lain. Ia bahkan tahu jumlah merpatinya. Apakah itu penyebab Arleti jatuh cinta? Mencintai seseorang yang tahu benar, bahkan barangkali: letak tahi-lalatnya. Bagaimana mungkin, Royan yang paham akan detail perasaannya, tega mengabaikan permintaannya?
"Tahukah kau, Arleti? Aku sedang memilih waktu yang tepat untuk mengunjungimu. Walaupun aku tak mempercayai sejumlah tempat dan nama-nama, tetapi 'waktu' bagiku sungguh memesona. Boleh jadi, hari Valentine sangat baik untuk pertemuan kita. Hari yang penuh dengan bahasa bunga, saat terindah untuk memperkukuh akar-akar cinta. Antara kau dan aku, Arleti. Kupikir, menunggu hari itu tiba, tidak memerlukan lautan kesabaran. Bukankah sudah amat dekat?"
Kemudian Royan mengakhiri suratnya dengan kata-kata 'peluk-cium'. Bahasa klasik yang mungkin banyak dipergunakan remaja tahun tujuh-puluhan. Ungkapan yang mulai tak lazim ketika e-mail menjadi pengganti surat dan kartu pos. Tetapi, inilah yang barangkali membedakan romantisme Arleti dan Royan dengan remaja zaman sekarang. Perjalanan surat dengan kendaraan prangko demikian memikat hati mereka.
Mereka?! Arleti melipat kembali surat itu. Menghela napas, seperti bermaksud melupakan sesuatu yang menyedihkan. Serbuk harapan ditebar oleh Royan, tetapi perasaannya gundah. Ia bergegas menuju meja makan. Dihirupnya teh yang mulai dingin.
"Ma, aku tunggu di mobil."
Ia melewati ayahnya yang mulai membuka koran pagi. Pamit dan mencium tangannya. Ketika menuju garasi, ia teringat akan surat yang ditulisnya semalam untuk Royan. Ia kembali ke kamar dan mendapatkan yang dimaksud: catatan panjang serupa novelet dengan gemuruh badai di dalamnya. Riuh-rendah perasaan cinta yang mirip ombak dengan susunan gelombang yang beriring dahsyat. Entah kenapa, ketika memasukkan sejumlah halaman tebal itu ke dalam amplop, matanya berkaca. Dadanya bagai hendak meledak. Membuat Arleti lupa pesan ibunya untuk mengantar ke Chaniago Flowers.
Ia meluncur sendiri dengan timbunan kegelisahan. Seperti berjalan dalam tidur, perilaku yang pernah menjadi kebiasaan ketika umur sepuluh tahun. Seperempat jam kemudian ia telah berada di Jalan Matraman yang padat oleh sebuah pagi yang sibuk.Arleti berlari kecil menuju fakultasnya setelah memarkir mobil di mulut Salemba. Ia abaikan bunyi handphone dalam tas kecilnya. Cita-citanya hanya satu: ingin segera berada di kelas dan mungkin sebuah tangis segera pecah di sana.
Ada yang ia sesalkan dari tulisan Royan. Valentine Day! Yang teringat mengenai hari itu adalah sebuah kematian. Sepanjang jalan ia mencoba mengaduk seluruh kenangan, namun tak kunjung muncul nama atau wajah seseorang yang mati di hari itu. Tetapi, pasti seseorang yang sangat dekat, atau sangat berkesan.
"Royan, mungkin ini agak menyakitkan bagimu." Arleti menuliskan kalimat tambahan di bawah surat panjangnya. "Seandainya kau datang sebelum atau sesudah tanggal 14 Februari, aku sangat berterima kasih. Nanti tentu kuceritakan sebabnya."
Dan, mobil pos keliling, pada tengah hari, segera mengurus perjalanan surat itu ke Yogya.

***

Arleti menghabiskan waktu di Teater Bulungan. Mula-mula menemani Agung Setiaji Arya Dipayana dan Wulan Guritno yang sibuk menyiapkan pentas Sita Obong. Namun, hingga jauh malam, ia tak hendak pulang. Ia tak peduli waktu. Sampai Aji membujuknya, bahkan kemudian mengantarkan ke rumah.
Di meja kamarnya, Arleti mendapatkan VCD film Onegin. Tidak ada sepucuk surat pun sebagai pengantar. Atau, Royan telah datang? Sementara ia justru pergi seharian. Kenapa orang rumah tidak meneleponnya? Arleti nyaris membanting telepon genggamnya. Tiba-tiba ia merasa menjadi anak tunggal dengan penyakit jiwa yang parah. Tinggal dalam kesunyian yang mengerikan, di rumah besar yang hampa.
Sudah lewat tengah malam, ketika Arleti memutar Onegin. Film yang pernah diceritakan Royan dalam suratnya. Namun, perasaannya tak kunjung tenang, karena besok tanggal 14 Februari. Tanggal yang hendak ia hindari. Menyebabkan tubuhnya gemetar oleh rasa takut yang aneh. Jika besok Royan muncul di rumah, sama artinya lelaki itu telah mengabaikan harapannya! Telah mengkhianati perasaannya!
Mata Arleti nyaris tak terpejam sampai matahari terbit. Badannya demam, membuat ibunya sibuk menelepon dokter. Tetapi Arleti menolaknya:
"Aku tidak sakit, Ma! Aku cuma marah kepada Royan! Tolong jangan bukakan pintu untuknya!"
"Royan?" Ibu dan ayahnya saling berpandangan. Perasaan khawatir mengalir.
"Dia yang selalu mengirimi aku surat! Kemarin dia datang, bukan?" Arleti menunjukkan sebuah VCD dan, astaga! Dari laci mejanya, ternyata ada sebuah naskah drama Deja vu. "Mama bilang apa sama dia? Apakah dia akan datang lagi hari ini?"
"Arleti, badanmu panas sekali...," Ibunya memeluk. Tatapannya menyimpan cemas. Mengisyaratkan kepada ayahnya agar segera mengusahakan dokter. "Kamu semalam begadang, kan? Biar Mama telepon Adi untuk menemanimu."
Arleti sertamerta menolak. Bahkan dengan sedikit histeris. Berulang kali ia katakan, bahwa ia sama sekali tak berminat dengan pemuda kurus yang kutu-komputer itu. Tetapi, ada yang lebih membuatnya waswas. Bunyi bel pintu! Pandangan mata Arleti tampak tegang. Siapa pagi-pagi datang bertamu?
Kamar mendadak hening, karena semua telinga terpasang untuk suara berikutnya, sesamar apa pun. Arleti mendengar ayahnya mempersilakan seseorang masuk ke rumah. Dari percakapan yang sayup, dapat diduga tamu itu laki-laki. Dan, langkah yang kemudian tersimak, agaknya mendekat ke arah kamar.
"Arleti, ada yang mencarimu." Lalu terdengar ayahnya mempersilakan seorang laki-laki masuk. "Dari Yogya."
Arleti memandang tamunya dengan tangan kencang meremas sprai. "Siapa kamu?! Pasti bukan Royan!"
"Aku pemilik alamat yang selalu kau kirimi surat. Aku memang bukan Royan. Tetapi aku kawan Royan. Namaku Landung. Ada enam belas surat kuterima, tetapi aku tak berani membukanya. Aku tak yakin kalau kau tidak mengetahui. Royan telah meninggal. Persis hari ini, setahun yang lalu."
Arleti seperti melihat seseorang dalam genangan minyak yang berkilau. Lambat laun mengabur. Pendengarannya hanya menangkap suara samar-samar. Mirip khotbah yang datar dari seseorang yang berjalan menjauh. Ini memang hari yang ditakutkan. Hari yang mengingatkan trauma itu: ketika Royan tewas dalam sebuah kecelakaan.
Landung gemetar ketika mulai membaca surat-surat Royan. Surat cinta yang selalu menyusup ke balik bantal tidur Arleti. Surat yang ditulis perempuan itu, yang berperan sebagai Royan, sejak kepribadiannya terbelah.
Dan, diam-diam mencintai tubuhnya sendiri. ©

 

SELAMAT ULANGTAHUN UTARI

January 24, 2010


Happy birthday to you.
Happy birthday to you.
Happy birthday, happy birthday, happy birthday to you....

"Selamat ulangtahun, Utami!" Papa tersenyum samar. Disentuhnya kening Utami lembut, lantas ditatapnya wajah putrinya dengan lekat. "Kamu harus panjang umur!" Suara papa gemetar, dengan rahang yang mengeras.
Utami menggigil mendengar kalimat terakhir itu. Dirasakannya jemari yang merangkulnya dingin. Utami menatap aneh, dan seleret duka yang pernah hadir lima hari lalu kembali membayang...


Continue reading...
 

DAHAGA

January 21, 2010
Aku lupa sejak kapan persisnya sosok itu rajin datang. Sosok yang begitu akrab, seperti berasal dari masa lalu. Mula-mula, aku mengabaikannya. Karena tidak terlalu mengganggu. Sosok itu hanya kerap bertandang ke kamarku. Berdiri di sudut ruang, mengawasi diam-diam.
Namun belakangan, ia merimba di mana-mana, menguntit bagai bayang-bayang di bawah matahari. Sesekali ia bersuara. Nadanya pelan, kalimatnya hemat. Tapi kerap terdengar sarkastis. Dan yang lebih menjengkelkan, ia sok tahu. Ia kerap...

Continue reading...
 

CINTA DALAM SEKILO TELUR

January 12, 2010
Membina sebuah rumah tangga sudah pasti akan menghadapi konsekuensi logis dikemudian hari yaitu dari faktor ekonomi, kesusahan dan kekurangan akan datang melanda dan bisa jadi akan menjadi sebuah badai prahara, tapi rasanya semua kesusahan dan kekurangan tersebut tidak akan dirasa jika dijalani dengan kebersamaan, saling menerima dan keceriaan bahkan dari situ pula kekuatan cinta yang ada menumbuhkan solusi agar kita mampu mengatasinya.

Saya tak pernah terpikir jika sedikit demi sedikit istri...


Continue reading...
 

ORNAMEN MUSIM SALJU

January 8, 2010

Sang kala adalah derap yang melayuk bagai bayang-bayang.
Pada retas rembang usia, ia menjelma petang jingga yang menari indah di horizon baur.
Pencarian ini tak akan pernah berhenti hingga mezbah kematian memanggilku!

— pencarian pada seorang perempuan



Menjelang musim semi, gurat matahari masih kerap hanya nampak di kaki lazuardi, berselingkuh di antara bongkahan salju yang mulai meleleh. Kukuh telah menyelesaikan bacaannya yang kesekian; A Portrait of the Artist as Young Man. Diletakkann...


Continue reading...
 

CINTA TELAH BERDEBU

January 6, 2010
Sore ini mestinya milik kita, Sasha
Tapi laut menculik mentari dari pelukan
Cakrawala memias tanpa rona
Camar-camar menjauh, menyisakan sunyi
Juga langit yang muram


Untuk pertama kali aku menyusuri pantai dengan hati belah. Jajaran perahu nelayan kehilangan pesona. Panorama senja dan anak-anak pesisir pun menyingkir dari perhatian. Betapa pun mereka pernah kau himpun dalam rencana idealmu, meski kau tahu: alangkah susah mengubah nasib yang telah menjadi garis hidup mereka di perkampungan t...

Continue reading...
 

INI KISAHKU

January 5, 2010
Saat membaca kisah ini, bayangkan lagu Peterpan, Kukatakan, mengalun pelan, mengiringi sekaligus menjadi soundtrack kisah ini.

Kukatakan dengan indah
Dengan terluka, hatiku hampa
Sepertinya luka

***

Kutulis kisahku, di sini. Pada karang dengan jari telanjang. Perih! Bukan hanya jari, namun seluruh persendianku, terasa dilumuri darah. Teramputasi! Seluruh ruang hatiku, porak-poranda oleh badai airmata yang sesamudera.
Bukan kurutuki takdir. Tak ingin menjadi pendosa dengan mengkufuri nikm...


Continue reading...
 

KARANG RETAK

January 4, 2010
Langkah kakinya amat tergesa. Cewek hitam manis itu, kehilangan senyum hari ini. Teman-teman sekolah yang biasa kena cipratan senyum manisnya, kini hanya berdiri mematung, menunggu disenyumi, namun tak juga berani menagih saat tak satu pun di antara mereka yang menuai senyum siang ini.
"Ada apa dengan Andine, ya?"
"Tumben nggak senyum."
"Mungkin ada masalah. Tapi dia pasti bisa mengatasinya."
Semua hanya membatin. Tak ada yang merasa dicueki, meski sebelumnya mereka selalu kebagiaan senyu...

Continue reading...
 

ROMANTICA DE MAYA

January 4, 2010

PART 1

Jam menunjukkan pukul 11.00 malam. Bibirnya menguntum senyum bila seseorang yang dinanti sejak semalam telah active five!. Pantas hujung jarinya klik pada nick yang tertera..

Romeo: “Hi.. Juliet, how are U? dari semalam I tunggu U tau! Mana U pegi nih!?” laju jemarinya mengetuk papan keyboard menyapa pelayar disebelah sana.

Juliet: “Haloo... Sori I busy semalam dan ngantuk sgt! Lama ke U tunggu?” ringkas jawapan yang diberi.

Romeo: “Busy sgt ker? Sampai tak bleh nak online sekej...


Continue reading...
 

BADAI DALAM KARUNG

January 3, 2010
Otot-ototnya menegang kencang pada dua ruas bahunya yang kukuh dan berkeringat. Dadanya yang telanjang, legam berkilat diterpa sinar mentari siang yang ganas. Luthfi, demikian nama lelaki itu, seperti pasrah dan menyerah pada nasib. Ia tak bisa menggugat apa pun atau siapa pun atas apa yang telah dialami sekarang. Sebagai buruh harian lepas pada kontraktor pembangunan gedung pusat perbelajaan, yang tak memiliki kekuasaan apa-apa, dia tak dapat menolak keputusan PHK dari atasannya.
"Proyek pe...

Continue reading...
 

LAGUKU


Masanton Shodagar hilangkanlah hasrat tuk mendua, aku menyukaimu, resah hati ini bila tak ada kekasih disana, aku tak berusaha agar engkau menyukaiku, tapi berharap tulus kau mencinta dan menyanyngku, karena aku yg mewngajakmu pacaran, yg mengajakmu jadian, mengarungi suka duka cinta, sadar hidup tak mungkin sendiri, berdua lebih berarti, setialah padaku yg ingin menyayangmu, aku hanya sdih, untuk menemani kau sering tiada apa arti kasih tanpa kehadiran, sungguh kata cinta tak cukup sayang, aku yg mengajakmu pacaran, yg mengajakmu jadian , mengarungi suka duka cinta , sadar hdup tak mungkin sendiri , berdua jauh berarti, setialah padaku yg ingin menyayangmu, aku yg mengajakmu pacaran , yg mengajakmu jadian, mengarungi suka duka cinta, sadar hidup tak mungkin sendiri, berdua jauh berarti, setialah pdaku yg ingin menyayangmu, bila bosan lupakanlah aku, lupakan kisah kasih, bila bahagia tak kau temui disini By: Shafan " mengajak pacaran"

Categories

Make a Free Website with Yola.