ROYAN, KEKASIHKU
January 29, 2010Arleti
terbangun dengan muka pucat. Untuk kesekian kali, ia menemukan sepucuk
surat di bawah bantalnya. Surat dengan bentuk tulisan yang serupa,
sejak setahun lalu. Latin tegak dengan huruf 'k' dan 'd' yang bagus.
Mirip tulisannya sendiri.
Kepada yang tercinta: Arleti.
Demikian tertera di sampul. Di bawahnya dituliskan alamat yang
memungkinkan surat itu tiba di rumah ini. Memang tak ada kata 'di bawah
bantal', namun surat dari Royan sampai ke tangannya selalu melalui
bawah bantal.
Kali ini Arleti tidak langsung membukanya. Ia mencoba mengingat berita
terakhir yang ia sampaikan kepada Royan. Pasti ada sesuatu yang membuat
Royan berminat membalasnya lebih cepat.
Arleti lupa, tetapi ia masih bertahan untuk tidak segera membuka surat
Royan. Kali ini ia memilih mandi lebih dulu, dan berniat minum teh
manis.Di bawah siraman air shower,
pikiran Arleti mengembara. Ia menuduh Royan sedang mempermainkannya.
Lelaki itu tak pernah mau berkunjung lagi, meski berulang-kali Arleti
memintanya melalui surat.
"Royan, Kekasihku. Bagaimanapun aku punya rasa rindu," demikian tulis
Arleti pada salah satu suratnya. "Dapatkah kau meluangkan waktu untuk
singgah ke rumah? Berapa jauhnya antara Yogya dan Jakarta? Hanya tujuh
jam perjalanan dengan Argo Dwipangga. Bahkan hanya satu jam dengan
Boeing 737. Demikian sibukkah, sampai hari Minggu pun kau habiskan
untuk melatih teater?"
Surat Arleti yang penuh harapan itu seperti terlempar sia-sia ke tengah
buih lautan. Surat balasan yang kemudian diterimanya nyaris tak
sebanding dengan bara rindu di dadanya.
"Arleti di rumah, mungkin saat ini kau sedang menabur jagung untuk
sepuluh merpati kesayanganmu. Sudahkah kau menonton film Onegin? Sebuah
karya Alexander Pushkin yang demikian puitis. Aku menyaksikan hampir
sembilan kali, seperti ketika aku ketagihan Last Tango in Paris. Entah
kenapa. Lalu aku teringat kau. Ya. Kau harus menontonnya."
Sungguh Arleti tak mengerti. Mengapa suratnya dan surat Royan seperti short message service
yang salah waktu? Ada selisih informasi. Arleti teringat salah satu
cerita Isaac Asimov. Dikisahkan tentang seorang ibu yang menyuruh
anaknya di stasiun antariksa, agar terus mengajukan pertanyaan ke
pesawat yang terkatung-katung di langit. Itu lebih efektif, ketimbang
diam menunggu jawaban. Jika suaranya sampai, seseorang yang diajak
bicara jauh di luar angkasa akan berturut-turut pula mengirim jawaban.
Disambarnya handuk, untuk membelit tubuh. Ia melompat dari kamar mandi
serupa tupai. Di rumah itu, sepagi ini, mungkin belum banyak yang
terjaga. Subuh baru saja selesai. Terdengar desis air yang dimasak Bi
Ijah di dapur. Selebihnya kicau burung, dan suara permulaan acara
televisi dari ruang tengah. Mungkin ayah baru saja bangkit dari kamar
dan mencari siaran televisi melalui remote control.
Setelah menyisir rambut, dan memandang wajahnya yang kuyu di depan
cermin, Arleti seperti teringat sesuatu. Semalam ia tidur sangat
sedikit. Rasanya ia telah menghabiskan waktu untuk menulis surat kepada
Royan. Atau sesuatu yang lain? Dilepaskan handuk dari tubuhnya. Ia
memandang pualam yang terbuat dari daging, memantul dari pengilon.
Sepasang payudara yang kencang dan penuh, dengan warna biru samar di
sekitar puting. Itulah pembuluh halus yang mungkin bekerja memancarkan
air susu. Terkadang Arleti merasa jatuh cinta pada tubuhnya. Dibukanya
lemari, mengambil celana dalam, t-shirt dan sepotong jins. Boleh jadi,
semalam ia menulis buku harian.
***
"Arleti!" Suara ibunya memanggil. Pintu kamarnya terbuka oleh dorongan tangan. "Kamu kuliah hari ini?"
"Ya. Kenapa?"
"Antar Mama ke toko bunga Chaniago Flowers di Tebet."
"Ada yang ulang tahun, Ma?" tanya Arleti sambil lalu.
"Astaga!" Ibunya masuk ke dalam kamar. "Kamu lupa ulang tahun Adi?"
"Adi Tristianto? Kok Mama jadi repot?" Arleti duduk di ranjang dengan kesal.
Ada semacam bisnis antara orangtuanya dan salah satu rektor perguruan
tinggi. Adi anak rektor itu, yang dipuja dan dikagumi di kampus karena
pesona intelektualnya.
"Aku alergi pemuda itu! Terlalu kurus. Dan, ia hanya berminat pada komputer."
Ibunya ikut duduk di sebelahnya. Tersenyum sabar. "Setidaknya kau mulai
memperhatikan dia. Mama bahkan tidak tahu kalau Adi jago komputer."
Arleti merasa semakin tak senang. Rongga kepalanya hanya berisi Royan,
seseorang yang jauh. Lelaki yang rajin menyuratinya dan langsung
mengirimkan ke bawah bantal. Lelaki yang dalam suratnya kerap
menceritakan beberapa pertunjukan teater yang sulit dilupakan karena
sangat berkesan. Misalnya tentang 'Lelaki yang Mencintai Hujan'. Ah,
mana surat itu? Arleti berdiri dengan kasar.
"Kamu tidak pakai BH?" Ibunya mendelik. Namun, Arleti tidak memperhatikan. "Mama mandi dulu, ya. Awas, jangan ditinggal!"
Arleti tetap tidak menanggapi. Ia mencari surat Royan, lalu segera
membacanya. Huruf-huruf di dalamnya bagai menari dan menyihirnya untuk
terbang ke awang-awang.
"Kekasihku tercinta. Lama aku berpikir untuk datang ke Jakarta seperti
harapanmu. Tetapi, selalu saja ada pekerjaan yang memburu. Sesuatu yang
sulit kutinggalkan, bahkan untuk sehari-dua. Hampir setiap hari aku
menerima tamu, yang datang tak tentu waktu. Pernah di suatu subuh,
seorang kawan mengetuk pintu kamarku, meminta kepastianku mengisi acara
di fakultasnya. Memang lagi-lagi teater. Sebuah dunia yang berisi blocking,
cahaya, dan bahasa tubuh. Dunia yang kata-katanya bisa muncul dari
mulut atau pun benda di sekitarnya. Dunia yang memiliki dimensi-dimensi
waktu dalam satu proscenium, sepanjang kita mau menafsirkannya."
Arleti masih menyimak.
"Arleti, saat ini sedang kutulis sebuah naskah yang sangat memesona.
Setidaknya bagiku. Kupilih judul Deja vu. Aku yakin kau tahu artinya.
Sesuatu yang sama yang pernah terjadi. Kita terlibat di dalamnya, atau
menyaksikannya. Ini tentang seorang lelaki yang kemudian bingung dengan
suatu pilihan di akhir cerita. Maaf kalau aku membuatmu penasaran.
Karena sesungguhnya, kau pun membuat aku penasaran. Mungkin itulah yang
menyebabkan cintaku tak kunjung padam. Cinta yang tak menemui batas.
Cinta yang mulai takut pada sebuah kenyataan. Arleti, apakah saat ini,
atau tadi, kau sedang menabur jagung untuk sepuluh merpati
kesayanganmu?"
Arleti menghela napas. Ia tak pernah sekali pun memberi tahu tentang
merpati peliharaannya kepada lelaki yang tidak menyukai telepon itu.
Tetapi Royan nyaris seperti Harry Potter dengan kepandaian yang lain.
Ia bahkan tahu jumlah merpatinya. Apakah itu penyebab Arleti jatuh
cinta? Mencintai seseorang yang tahu benar, bahkan barangkali: letak
tahi-lalatnya. Bagaimana mungkin, Royan yang paham akan detail
perasaannya, tega mengabaikan permintaannya?
"Tahukah kau, Arleti? Aku sedang memilih waktu yang tepat untuk
mengunjungimu. Walaupun aku tak mempercayai sejumlah tempat dan
nama-nama, tetapi 'waktu' bagiku sungguh memesona. Boleh jadi, hari
Valentine sangat baik untuk pertemuan kita. Hari yang penuh dengan
bahasa bunga, saat terindah untuk memperkukuh akar-akar cinta. Antara
kau dan aku, Arleti. Kupikir, menunggu hari itu tiba, tidak memerlukan
lautan kesabaran. Bukankah sudah amat dekat?"
Kemudian Royan mengakhiri suratnya dengan kata-kata 'peluk-cium'.
Bahasa klasik yang mungkin banyak dipergunakan remaja tahun
tujuh-puluhan. Ungkapan yang mulai tak lazim ketika e-mail menjadi
pengganti surat dan kartu pos. Tetapi, inilah yang barangkali
membedakan romantisme Arleti dan Royan dengan remaja zaman sekarang.
Perjalanan surat dengan kendaraan prangko demikian memikat hati mereka.
Mereka?! Arleti melipat kembali surat itu. Menghela napas, seperti
bermaksud melupakan sesuatu yang menyedihkan. Serbuk harapan ditebar
oleh Royan, tetapi perasaannya gundah. Ia bergegas menuju meja makan.
Dihirupnya teh yang mulai dingin.
"Ma, aku tunggu di mobil."
Ia melewati ayahnya yang mulai membuka koran pagi. Pamit dan mencium
tangannya. Ketika menuju garasi, ia teringat akan surat yang ditulisnya
semalam untuk Royan. Ia kembali ke kamar dan mendapatkan yang dimaksud:
catatan panjang serupa novelet dengan gemuruh badai di dalamnya.
Riuh-rendah perasaan cinta yang mirip ombak dengan susunan gelombang
yang beriring dahsyat. Entah kenapa, ketika memasukkan sejumlah halaman
tebal itu ke dalam amplop, matanya berkaca. Dadanya bagai hendak
meledak. Membuat Arleti lupa pesan ibunya untuk mengantar ke Chaniago
Flowers.
Ia meluncur sendiri dengan timbunan kegelisahan. Seperti berjalan dalam
tidur, perilaku yang pernah menjadi kebiasaan ketika umur sepuluh
tahun. Seperempat jam kemudian ia telah berada di Jalan Matraman yang
padat oleh sebuah pagi yang sibuk.Arleti berlari kecil menuju
fakultasnya setelah memarkir mobil di mulut Salemba. Ia abaikan bunyi handphone dalam tas kecilnya. Cita-citanya hanya satu: ingin segera berada di kelas dan mungkin sebuah tangis segera pecah di sana.
Ada yang ia sesalkan dari tulisan Royan. Valentine Day! Yang teringat
mengenai hari itu adalah sebuah kematian. Sepanjang jalan ia mencoba
mengaduk seluruh kenangan, namun tak kunjung muncul nama atau wajah
seseorang yang mati di hari itu. Tetapi, pasti seseorang yang sangat
dekat, atau sangat berkesan.
"Royan, mungkin ini agak menyakitkan bagimu." Arleti menuliskan kalimat
tambahan di bawah surat panjangnya. "Seandainya kau datang sebelum atau
sesudah tanggal 14 Februari, aku sangat berterima kasih. Nanti tentu
kuceritakan sebabnya."
Dan, mobil pos keliling, pada tengah hari, segera mengurus perjalanan surat itu ke Yogya.
***
Arleti menghabiskan waktu di Teater Bulungan.
Mula-mula menemani Agung Setiaji Arya Dipayana dan Wulan Guritno yang
sibuk menyiapkan pentas Sita Obong. Namun, hingga jauh malam, ia tak
hendak pulang. Ia tak peduli waktu. Sampai Aji membujuknya, bahkan
kemudian mengantarkan ke rumah.
Di meja kamarnya, Arleti mendapatkan VCD film Onegin. Tidak ada sepucuk
surat pun sebagai pengantar. Atau, Royan telah datang? Sementara ia
justru pergi seharian. Kenapa orang rumah tidak meneleponnya? Arleti
nyaris membanting telepon genggamnya. Tiba-tiba ia merasa menjadi anak
tunggal dengan penyakit jiwa yang parah. Tinggal dalam kesunyian yang
mengerikan, di rumah besar yang hampa.
Sudah lewat tengah malam, ketika Arleti memutar Onegin. Film yang
pernah diceritakan Royan dalam suratnya. Namun, perasaannya tak kunjung
tenang, karena besok tanggal 14 Februari. Tanggal yang hendak ia
hindari. Menyebabkan tubuhnya gemetar oleh rasa takut yang aneh. Jika
besok Royan muncul di rumah, sama artinya lelaki itu telah mengabaikan
harapannya! Telah mengkhianati perasaannya!
Mata Arleti nyaris tak terpejam sampai matahari terbit. Badannya demam,
membuat ibunya sibuk menelepon dokter. Tetapi Arleti menolaknya:
"Aku tidak sakit, Ma! Aku cuma marah kepada Royan! Tolong jangan bukakan pintu untuknya!"
"Royan?" Ibu dan ayahnya saling berpandangan. Perasaan khawatir mengalir.
"Dia yang selalu mengirimi aku surat! Kemarin dia datang, bukan?"
Arleti menunjukkan sebuah VCD dan, astaga! Dari laci mejanya, ternyata
ada sebuah naskah drama Deja vu. "Mama bilang apa sama dia? Apakah dia
akan datang lagi hari ini?"
"Arleti, badanmu panas sekali...," Ibunya memeluk. Tatapannya menyimpan
cemas. Mengisyaratkan kepada ayahnya agar segera mengusahakan dokter.
"Kamu semalam begadang, kan? Biar Mama telepon Adi untuk menemanimu."
Arleti sertamerta menolak. Bahkan dengan sedikit histeris. Berulang
kali ia katakan, bahwa ia sama sekali tak berminat dengan pemuda kurus
yang kutu-komputer itu. Tetapi, ada yang lebih membuatnya waswas. Bunyi
bel pintu! Pandangan mata Arleti tampak tegang. Siapa pagi-pagi datang
bertamu?
Kamar mendadak hening, karena semua telinga terpasang untuk suara
berikutnya, sesamar apa pun. Arleti mendengar ayahnya mempersilakan
seseorang masuk ke rumah. Dari percakapan yang sayup, dapat diduga tamu
itu laki-laki. Dan, langkah yang kemudian tersimak, agaknya mendekat ke
arah kamar.
"Arleti, ada yang mencarimu." Lalu terdengar ayahnya mempersilakan seorang laki-laki masuk. "Dari Yogya."
Arleti memandang tamunya dengan tangan kencang meremas sprai. "Siapa kamu?! Pasti bukan Royan!"
"Aku pemilik alamat yang selalu kau kirimi surat. Aku memang bukan
Royan. Tetapi aku kawan Royan. Namaku Landung. Ada enam belas surat
kuterima, tetapi aku tak berani membukanya. Aku tak yakin kalau kau
tidak mengetahui. Royan telah meninggal. Persis hari ini, setahun yang
lalu."
Arleti seperti melihat seseorang dalam genangan minyak yang berkilau.
Lambat laun mengabur. Pendengarannya hanya menangkap suara samar-samar.
Mirip khotbah yang datar dari seseorang yang berjalan menjauh. Ini
memang hari yang ditakutkan. Hari yang mengingatkan trauma itu: ketika
Royan tewas dalam sebuah kecelakaan.
Landung gemetar ketika mulai membaca surat-surat Royan. Surat cinta
yang selalu menyusup ke balik bantal tidur Arleti. Surat yang ditulis
perempuan itu, yang berperan sebagai Royan, sejak kepribadiannya
terbelah.
Dan, diam-diam mencintai tubuhnya sendiri. ©
Posted by Masanton Shodagar. Posted In : cerpen